Senin, 03 November 2014

arti dan fungsi air dalam hindu



BAB I
PENDAHULUAN

1.1   Arti dan Fungsi Air Secara Umum
Air adalah suatu senyawa hydrogen dan oksigen dengan rumusan kimia H2O. berdasarkan sifat fisiknya ( secara fisika ) yaitu air sebagai benda cair, air sebagai benda padat, dan air sebagai benda gas atau uap. Air berubah dari suatu bentuk kebentuk yang lainnya tergantung pada waktu dan tempat secara temperaturnya. Berdasarkan jenis wadah yang ditempati, air dibedakan atas 3 jenis, yaitu air permukaan, air tanah, dan air udara. Air permukaan adalah air yang terdapat dipermukaan kulit bumi baik yang berbentuk cair ( air sungai, air danau, dan air laut ) maupun yang berbentuk padat ( es, salju dan gletser ). Air tanah adalah air yang terdapat dibawah permukaan kulit bumi atau di dalam tanah. Adapun air udara adalah air yang terdapat didalam atmosfer bumi, berupa uap atau pun embun.

Pemakaian air secara garis besar dapat di klasifikasikan menjadi 4 golongan berdasarkan tujuan penggunaannya, yaitu air untuk keperluan irigasi, air untuk keperluan pembangkitan energi, air untuk keperluan industri dan air untuk keperluan publik (Dumairy, 1992).

Fungsi dan peran air bagi kehidupan manusia sebagai salah satu kebutuhan pokok sehari-hari makhluk hidup di dunia ini yang tidak dapat terpisahkan adalah air. Tidak hanya penting bagi manusia, air merupakan bagian yang penting bagi makhluk hidup baik hewan dan tumbuhan. Tanpa air kemungkinan tidak ada kehidupan di dunia ini karena semua makhluk hidup sangat memerlukan air untuk bertahan hidup.

Manusia mungkin dapat hidup beberapa hari akan tetapi manusia tidak akan bertahan selama beberapa hari jika tidak minum karena sudah mutlak bahwa sebagian besar zat pembentuk tubuh manusia itu terdiri dari 73% adalah air. Jadi bukan hal yang baru jika kehidupan yang ada di dunia ini dapat terus berlangsung karena tersedianya air yang cukup. Dalam usaha mempertahankan kelangsungan hidupnya, manusia berupaya mengadakan air yang cukup bagi dirinya sendiri. Misalnya air merupakan kebutuhan pokok bagi manusia dengan segala macam kegiatannya, antara lain digunakan untuk yaitu keperluan rumah tangga, untuk minum, masak, mandi, cuci, dan pekerjaan lainya.

1.2     Arti Dan Fungsi Air Dalam Upakara Yadnya
Air merupakan sarana persembahyangan yang penting. Ada dua jenis air yang dipakai dalam persembahyangan yaitu: air untuk membersihkan mulut dan tangan, kedua air suci yang disebut tirta.  Tirta ini pun ada dua macamnya yaitu: tirta yang di dapan dengan memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan batara batari dan tirta di buat dengan puja.
Tirta berfungsi untuk membersihkan diri dari kotoran maupun kecemaran pikiran. Adapun pemakaiannya adalah dipercikkan di kepala, di minum, dan di usapkan pada muka, simbolis pembersihan bayu, sabda dan idep. Selain sarana itu biasanya di lengkapi juga dengan bija dan bhasma yang disebut gandhaksta.
Tirta bukanlah air biasa, tirta adalah benda materi yang sakral dan mampu menumbuhkan perasaaan, perasaan yang suci. Untuk asal usul kata tirta berasal dari bahasa Sanskerta.














BAB II
PEMBAHASAN


2.1        Macam-macam Tirta Yang Digunakan Dalam Upacara Agama

a.       Tirta Pembersihan
Fungsi tirta pembersihan sesuai dengan namanya adalah untuk membersih-sucikan upakara (bebanten) yang dipakai sebagai sarana persembahyangan dan juga diri sendiri agar terbebas dari kekotoran. Karena itu penggunaan tirta pembersihan ini dilakukan sebelum inti persembahyangan dimulai. Biasanya di jaba sebuah pura akan disediakan jenis tirta ini dan di jeroan sebelum pemimpin upacara “ngantebang upakaraning bebanten “ akan menyiratkan tirta pembersihan ini.
b.      Tirta Pengelukatan
Tirta yang digunakan untuk pensucian terhadap bangunan, alat upacara atau diri seseorang. Air  ini diperoleh dengan jalan puja mantra para pandita melalui pasupati. Tirta pengelukatan biasanya dicipratkan tiga kali yang mengandung arti sebagai simbol pensucian yang  kedua atau  menengah. Tirta ini juga biasanya digunakan untuk mensucikan canang sari serta banten lainnya.
c.       Tirta Wangsuhpada/ Banyun Cokor/ Kekuluh
Tirtha wangsuhpada atau kekuluh atau banyun cokor Ida Bhatara ini adalah sebagai penutup persembahyangan yang menyimboliskan bahwa atas sembah-bhakti kita beliau berkenan memberikan waranugraha-Nya berupa “amrta” yaitu kerahajengan dan kerahayuan hidup kepada umat yang sujud sembah-bhakti memuja beliau.



d.      Tirta pamanah
Tirta pemanah adalah satu jenis air suci yang diperoleh dari sumber air suci pada waktu upacara ngening. Orang-orang mencari air suci dengan membawa “panah” yang dibuat dan diberikan mantra oleh pendeta. Air suci itu akan dipakai saat jenazah dimandikan.
e.       Tirta panembak
Tirta penembak yaitu tirta yang digunakan saat memandikan mayat. Tirta ini mengandung makna membersihkan jasad orang yang meninggal dari kotoran-kotoran lahir batin. Tirta ini diperoleh pada tengah malam dan mengambilnya pertama dari hilir ke hulu secepat kilat. Saat memandikan mayat, tirta panembak akan dipergunakan dari hulu ke hilir
f.       Tirta pangentas
Kata pangentas berasal dari kata tas yang berarti putus. Dalam upacara pengabenan ada istilah tiuk pangentas yang artinya pisau untuk memutuskan tali pengikat gulungan jenazah. Tirta pangentas merupakan air suci yang dibuat dengan mantra sulinggih sang pamuput , bertujuan memutuskan ikatan purusa dengan prakerti sang mati guna dikembalikan kepada sumbernya masing-masing. Pada pelaksanaan ngaben yang besar, tali pengikat purusa dan prakerti dilukiskan sebagai naga banda yang berarti naga pengikat. Dalam lontar Tutur Suksma ada disebutkan bahwa yang dimaksud naga adalah bayu atau energi yang muncul sebagai akibat menyatunya purusa dan prakerti .
Tanpa tirta pangentas itu, ikatan purusa dengan prakerti tak akan bisa diputuskan. Tirta pangentas sangat prinsipil kehadirannya dalam upacara ngaben. Bila ditinjau dari sisi materialnya, tirta pangentas tak banyak berarti, namun dari sudut spiritual tirta inilah yang menentukan berhasil atau tidaknya upacara ngaben dimaksudkan mencapai tujuan. Seberapa besar upacara ngaben dilaksanakan, jika tak memakai tirta pangentas , maka upacara itu akan sia-sia.



2.2        Fungsi Air Suci Dalam Upacara Agama

a.       Tirtha berfungsi sebagai lambang penyucian/pembersihan
Setiap upakara/ bebantenan dalam Panca Yadnya sebelum dipersembahkan terlebih dahulu dibersihkan/ disucikan secara simbolis dengan tirta pembersihan yang dibuat oleh pendeta. Kewajiban untuk mensucikan upakara/ bebanten yang akan dipersembahkan disebut dalam Lontar Kusuma Dewa Gong Wesi sebagai berikut:
“Salwir bebanten yajna matirthakaryan Pedanda Putus tan katampi aturannya” Artinya: segala sesaji (bebanten) kalau tidak disucikan dengan tirtha yang dibuat oleh Pendeta utama, tidak akan diterima persembahannya.
Oleh karena hal inilah setiap upakara atau sesaji sebelum digunakan sebagai sarana persembahan, terlebih dahulu diperciki tirtha pengelukatan.
Dari istilah “pengelukatan” berasal dari kata “lukat” dalam bahasa Jawa Kuna berarti membebaskan. Fungsi tirtha “pengelukatan” dan tirtha “pembersihan” merupakan penyucian tahap pertama untuk membebaskan segala sesuatu yang berhubungan dengan upacara keagamaan itu dari segala kekotoran fisik dan spiritual. Sedangkan tirtha pembersihan merupakan suatu kenyataan bahwa segala sesuatu itu sudah benar-benar bersih suci. Pendeta dalam membuat tirtha pembersihan/pengelukatan, segala perlengkapan upacara menggunakan mantram “Apsu Dewa” yaitu mantram yang memohon kepada Dewi Gangga untuk menyucikan atau melepaskan segala yang berhubungan dengan pelaksanaan upacara dari segala unsure negatif.
Disamping tirtha pengelukatan dikenal pula adanya tirtha pembersihan yang fungsinya sama dengan tirtha pengelukatan. Hanya tirtha pembersihan, merupakan penyucian tingkat lanjut. Kalau tirtha pengelukatan, pemujaan ditujukan kepada Dewi Gangga dan Dewa Siwa untuk memohon kelepasan segala kekotoran. Sedangkan puja tirtha pembersihan permohonan ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam fungsi beliau sebagai pencipta sungai-sungai, mensucikan dan memelihara kesucian tesebut. Demikianlah tirtha pengelukatannya dan tirtha pembersihan mempunyai arti dan makna penyucian lahir batin seluruh unsur yang terkait dalam pelaksanaan upacara yadnya.

b.      Tirtha yang berfungsi sebagai pengurip/penciptaan
Tirtha yang digunakan untuk mensucikan dan membersihkan upakara bebanten yang akan dipersembahkan, sehingga bebanten itu tidak lagi merupaka rangkaian, bunga, buah dan daun-daunan, jajan dan benda-benda lainnya.
Fungsi tirtha dalam hal ini sebagai pengurip bebanten. Bahan-bahan banten tersebut setelah dipetik dari asalnya (pohon) dia telah menjadi benda mati kemudian dirangkai sedemikian rupa sehingga dia berbentuk dan bernama banten tertentu. Nama banten itu baru dapat dikatakan sah atau resmi setelah dia diurip atau dihidupkan dengan tirtha pengurip bebanten, sebelumnya dia hanya merupakan rangkaian benda-benda mati saja. Tirtha pengurip banten itulah memberikan kekuatan spiritual dari banten tersebut sehingga dapat dipergunakan sebagai media untuk menghubungkan antara umat dengan yang dipuja.
Tirtha pengurip ini biasa juga dipergunakan oleh para “undagi” (tukang bangunan) pada waktu meresmikan (malaspas) bangunan yang baru selesai. Puja pengantar permohonan tirtha pengurip ini disebutkan dalam lontar Asta Kosali sebagai barikut:
“Om Hyang Parama Siva murti saktyam, angurip ana sarwa tamuwuh, wetan, geneyan, daksina, neriti, pascima, wayabya, uttara, ersanya, Madhya, sor, luhur kaurip de nira Sang Hyang Bayu anarawati asri apan sarwa mrta kaurip, jeng, om sribagya ya namah svaha”
Pada garis besarnya arti dan makna puja pengantar, tersebut diatas adalah suatu permohonan kehadapan Sang Hyang Parama Siva agar sudi menjiwai secara spiritual banten atau bangunan yang baru selesai itu.
Pengertian menghidupkan disini bukanlah berarti menjiwai seperti manusia, tetapi memiliki nilai sakral atau kekuatan magis religius, sebagai sarana untuk menjiwai yang maha gaib itu. Sedangkan dalam kaitannya dengan peresmian (pemelaspas) rumah bertujuan agar bahan-bahan rumah yang satu sama lainnya berbeda-beda, tidak lain merupaka benda-benda mati, tetapi memiliki kekuatan spiritual agar pemilik/si pemakai rumah tersebut memperoleh keselamatan di bawah lindungan Sang Hyang Widhi.
Di samping itu bangunan tersebut setelah di upacarai barulah resmi bernama bangunan (rumah), bukan merupakan tumpukan batu, bata, semen, pasir dan genteng serta yang lainnya. Cukup dia diberi nama bangunan. Nama bangunan tersebut adalah bermacam-macam sesuai dengan bentuknya, kalau di Bali misalnya ada disebut “sekutus, mundak, sekenem” dan lain-lainnya.

c.       Tirtha yang berfungsi sebagai pemelihara
Tirtha juga berfungsi sebagai pemelihara, dan dalam pelaksanaan yadnya berfungsi sebagai lambang berkah suci atau anugrah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam prakteknya dapat kita lihat pada waktu “puja wali” atau “petirthaan” di suatu “pura” dilangsungkan persembahyangan dan terakhir diikuti dengan pemercikan tirtha, diminum dan diraupkan ke wajah. Tirtha di sini di jiwai oleh Dewa Wisnu sebagai stiti dan juga Dewa Indra sebagai dewa hujan sumber kemakmuran.
Dalam Rg. Veda I, bagian kedua sukta 5 syair 2, dan 5 dijelaskan Dewa Indra sebagai pemberi airsoma yang merupaka air suci. Adapun syair tersebut sebagai berikut:

Syair 2: Purutamam purunamisanam waryanam, indram some saca sute.
Artinya: Kepadanya yang memiliki segala-galanya, Dewa kebaikan, Indra dengan menuangkan air soma.
Syair 5:Putapavne suta ime sucayo yanti witaye, somaso dadhyasirah.
Artinya: Mendekatlah kepada peminum soma, untuk kebahagiannya, air suci ini soma dengan menteka
Menurut kepercayaan umat Hindu di India air soma ini adalah berasal dari air buah-buahan yang dapat member semangat hidup kesucian.
Demikianlah fungsi tirtha dalam hubungannya dengan persembahyangan. Sarana persembahyangan berupa bunga, buah, daun, api dan air adalah sarana yang tergolong berwujud benda (material) sedangkan sarana yang berwujud bukan benda (non material) adalah mantra.

2.3        Sloka Suci Bhagawadgita Bab IX Sloka 26

“ Patram puspam phalam toyam
  Yo me bhaktya prayacchati
  Tad aham bhakty-upahrtam
  Asnami prayatatmanah”

Artinya:
Apa yang dipersembahkan kepadaku, sehelai daun, setangkai bunga, setetes air, buah atau biji-bijian dengan cinta bhakti dan kesadaran yang murni, akan  Ku terima.

Kata-kata yo me bhaktya prayacchati berarti menawarkan kepadanya dengan mencintai pengabdian.  Bahkan jika umatnya menawarkan dengan pikiran yang bersih dan hati yang murni meskipun tanpa melakukan usaha yang tidak terlalu berat seperti mempersembahkan  air, sehelai daun atau buah yang dijiwai dengan pengabdian maka akan dianggap sakral oleh Tuhan yang maha tinggi sehingga ia akan menjadi senang dan merasa berhutang budi pada pemuja tersebut. Tindakan apapun yang dilakukan dengan bhakti atau pengabdian kepadanya , ia menerimanya dengan cinta bhakti.
Kata bhakti disebutkan dua kali dalam sloka ini yang mempertegas bahwa satu-satunya cara yang mudah dilaksanakan oleh umat untuk melakukan pendekatan kepadanya adalah melalui pelayanan bhakti. Meskipun ada cara lain seperti menjadi brahmana, sarjana, orang kaya dan filsuf besar, tanpa adanya prinsip bhakti kepadanya semuanya itu hanya akan sia-sia belaka, karena bhakti bersifat kekal, semua kepercayaan apapun pasti melakukan bhakti untuk memuja Tuhan mereka.
Dalam sloka ini juga sangat dijelaskan Tuhan menginginkan persembahan dalam bentuk vegetarian, jadi apa yang tidak diinginkan tidak disebutkan dalam sloka ini seperti persembahan daging, ikan dan telur. Tuhan hanya ingin pelayanan bhakti berupa persembahan seperti sehelai daun, setangkai bunga, setetes air, buah atau biji-bijian yang depersembahkan dengan tulus iklas maka ia akan menerimanya. Artinya Tuhan meminta agar umatnya memakan makanan seperti apa yang dipersembahkan kepadanya (vegetarian) sehingga manusia memiliki pikiran yang jernih dan jiwa yang bersih serta terbebas dari siklus reinkarnasi yang tiada ahir dan mencapai kebebasan atau kebahagian yang kekal.
Pada Bhagawadgita sloka 3.13 Tuhan menjelaskan “Para penyembah Ku dibebaskan dari segala jenis dosa karena mereka makan makanan yang dipersembahkan terlebih dahulu untuk korban suci. Orang yang menyiapkan makanan untuk kenikmatan indria-indria pribadi, sebenarnya hanya makan dosa saja”. Magna sloka ini mirip dengan sloka diatas, dimana Tuhan mengampuni dosa umatnya dengan hanya memakan sisa-sisa hasil persembahan yang ditujukan dengan tulus iklas kepadanya. Tetapi umat yang makan tanpa melakukan persembahan justru akan mendapatkan dosa, karena tidak bersyukur atas segala apa yang ia makan semuanya adalah pempberian darinya. Tuhan tidak membutuhkan makanan, karena segalanya telah ia miliki, ia hanya menerima persembahan karena cinta bhakti umatnya terhadap dirinya bukan karena makanan tersebut.
Aktualisasi setetes air pada sloka Bhagavadgita 9.26 dapat dilihat ketika menggunakan tirtha sebagai salah satu sarana persembahyangan. Tirtha pada dasarnya adalah air yang telah melalui proses pembersihan dan penyucian secara ritual sehingga bersifat sakral dan diyakini dapat menumbuhkan perasaan dan atau pikiran yang suci. Untuk mendapatkan tirtha ada dua macam cara yaitu: Pertama, dengan cara naur (memohon) yang dapat dilakukan oleh pinandita (pemangku, dalang, balian termasuk sang yajamana (umat yang sedang menyelenggarakan upacara yajna). Penggunaan air yang kemudian diproses ritual menjadi tirtha, bukanlah sekedar pemanfaatan benda cair itu secara fisikal. Lebih jauh dari itu adalah nuansa sakral dari air suci itu dalam menumbuhkan jiwa spiritual umat agar dirinya terbebas dari segala kekotoran baik yang disebabkan oleh unsur material (badan kotor) maupun unsur immaterial (rohani kotor). Itu sebabnya, meski nampak sepele percikan air suci yang disebut tirtha itu merupakan lambang kehidupan yang di dalam lontar Paniti Agama Tirtha disebut “tirtha ngaran amrta”: tirtha adalah hidup. Artinya, tirtha itulah penyebab umat dan agama Hindu itu tetap eksis. Tanpa tirtha umat dan agama Hindu akan kering lalu mati. Sebaliknya dengan tirtha, dahaga lahir dan batin akan terpuaskan dalam kehidupannya.


























BAB III
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
Secara umum, Air adalah suatu senyawa hydrogen dan oksigen dengan rumusan kimia H2O. Fungsi dan peran air bagi kehidupan manusia sebagai salah satu kebutuhan pokok sehari-hari makhluk hidup di dunia ini yang tidak dapat terpisahkan adalah air. Tidak hanya penting bagi manusia, air merupakan bagian yang penting bagi makhluk hidup baik hewan dan tumbuhan. Tanpa air kemungkinan tidak ada kehidupan di dunia ini karena semua makhluk hidup sangat memerlukan air untuk bertahan hidup.
Namun Arti Dan Fungsi Air Dalam Upakara Yadnya yaitu Air merupakan sarana persembahyangan yang penting. Ada dua jenis air yang dipakai dalam persembahyangan yaitu: air untuk membersihkan mulut dan tangan, kedua air suci yang disebut tirta.  Tirta ini pun ada dua macamnya yaitu: tirta yang di dapan dengan memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan batara batari dan tirta di buat dengan puja.Tirta berfungsi untuk membersihkan diri dari kotoran maupun kecemaran pikiran. Adapun macam-macam Tirta Yang Digunakan Dalam Upacara Agama yaitu; tirta pembersihan, tirta pengelukatan, tirta wangsuhpada, tirta pemanah, tirta penembak dan tirta pengentas. Seperti di tandaskan dalam Sloka Suci Bhagawadgita Bab IX Sloka 26 ;
    “ Patram puspam phalam toyam
      Yo me bhaktya prayacchati
      Tad aham bhakty-upahrtam
      Asnami prayatatmanah”
Artinya:
Apa yang dipersembahkan kepadaku, sehelai daun, setangkai bunga, setetes air, buah atau biji-bijian dengan cinta bhakti dan kesadaran yang murni, akan  Ku terima.


DAFTAR PUSTAKA



Wiana, Drs.I Ketut. Arti Dan Fungsi Sarana Persembahyangan. 2000. Paramita:Surabaya

Minggu, 02 November 2014

SANGGAH KEMULAN




KONSEP SANGGAH KAMULAN BAGI MASYARAKAT BALI
SEBUAH ANALISIS FOLKLOR



BAB I  PENDAHULUAN

           Pada dasarnya masyarakat Bali yang terdiri dari kumpulan individu-individu. Memiliki bentuk-bentuk kebudayaan yang sangat menarik untuk digali dan dikaji, salah satunya adalah adanya bentuk bangunan-bangunan tradisional Bali yang dari dulu sampai sekarang masih di pakai dan dilestarikan oleh masyarakat Bali. Masyarakat Bali yang dijadikan objek penelitian dalam kesempatan ini adalah orang-orang Bali yang tinggal di Bali yang beragama Hindu. Kehidupan masyarakat tersebut masih dipengaruhi oleh suatu kepercayaan-kepercayaan yang berasal dari folklore; apakah itu mite, dongeng, legenda atau ekspresi budaya (kebiasaan dari turun temurun).
            Salah satu yang menarik adalah ekspresi budaya. Pengaruh kebudayaan Hindu yang tidak dapat lepas dari masyarakat Hindu Bali yakni adanya bangunan-bangunan tradisional suci umat Hindu seperti kepercayaan masyarakat tentang Sanggah Kamulan. Kepercayaan rakyat, atau yang sering disebut dengan “takhyul”, adalah kepercayaan yang oleh orang berpendidikan Barat dianggap sederhana bahkan pander, tidak berdasarkan logika, sehingga secara ilmiah tidak dapat dipertanggung jawabkan (Dananjaya, 1984: 153).

            Hampir setiap karang perumahan di Bali, pada bagian hulu atau udiknya terdapat sebuah “sanggah” yang umum disebut “Sanggah kamulan” untuk golongan tertentu disebut juga “Sanggah Kemimitan”. Karena sanggah tersebut selalu letaknya pada udik atau hulu dari karang, maka disebut juga “Panghulun Karang”.
            Sampai saat ini masih saja ada suatu keraguan, tentang siapa sesungguhnya yang dipuja pada sanggah itu. Apa sebenarnya fungsinya dan pengertian Sanggah Kamulan/ Kamimitan itu. Apakah makna dan nilai-nilai yang terkandung dalam kepercayaan atau keyakinan memuja Sanggah Kemulan. Permasalahan tersebut perlu dikaji dan dipecahkan untuk menghilangkan  kekaburan pengertian dikalangan umat Hindu. Dari beberapa cerita masyarakat yang ada dan sumber pustaka yang pasti, penulis juga ingin mencoba meneliti tentang Sangah Kamulan ini. Sampai saat ini, memang belum banyak ditemukan tulisan ilmiah yang khusus mengungkapkan tentang Sanggah Kamulan itu.
            Untuk memperoleh jawaban, maka metode yang digunakan ialah metode penelitian sastra yaitu mencari obyek dimasyarakat dengan teknik merekam dan mencatat data yang diberikan informan juga metode observasi dengan mengamati keberadaan Sangah Kamulan. Selain itu juga didukung dengan metode kepustakaan, yakni mencari informasi topik yang dibahas dengan mengambil sumber dari beberapa buku dan lontar sebagai pedoman, dengan menggunakan teknik pencatatan. Populasi yang dipilih adalah seluruh dengan cara acak tanpa membedakan asal informan, dan dipilih sampel beberapa orang yang mengetahui dan mengerti tentang keagamaan dan bangunan suci. Teori yang melandasi adalah:
  1. Teori fungsi oleh koentjaraningrat; bahwa ada hubungan sesuatu hal dengan tujuan tertentu (1981: 87).
  2. Teori dorongan untuk menentukan suatu sikap mencari rasa aman sebagai kebutuhan manusia ( Susanto, 1983: 178).
  3. Teori  survival bahwa kebudayaan orang primitip masih bisa tetap hidup dijaman peradaban modern ( Dananjaya, 1984: 58).
  4. Teori sympathetic magic menurut Frazer bahwa ada hubungan erat yang sebenarnya antara benda-benda tak ada hubungannya.
  5. Lalu timbul kepercayaan bahwa tahyul masih dapat hidup berdampingan dengan ilmu pengetahuan dan agama.
Demikian teori yang melandasi sehingga tujuan penelitian untuk mengetahui sumber budaya daerah yang bersumber dari folklor khususnya kepercayaan rakyat. Sehingga hasilnya nanti dapat menggugah dan menambah pengetahuan masyarakat tentang Sanggah Kamulan selain itu juga masyarakat mengetahui bahwa kepercayaan-kepercayaan masyarakat mengandung konsep kehidupan yang universal, disamping ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan jangkauan yang akan disampaikan adalah: pengertian Sang Hyang Kemulan, sejarah dan jenisnya, fungsi sanggah kemulan, makna dan nilai yang terkandung. 

BAB II
PENGERTIAN SANG HYANG KAMULAN

2.1 Dasar Hukum Pendirian Sanggah Kamulan.
            Secara etimologi kata, Sanggah Kamula terdiri dari dua buah kata yaitu Sanggah dan Kamulan. Sanggah adalah perubahan ucapan dari pada “sanggar”, arti sanggar menurut pengertian lontar keagamaan di Bali adalah tempat memuja. Misalnya dalam lontar Sivagama disebutkan “nista sapuluhing saduluk sanggar pratiwi wangun” (Rontal Sivagama, lembar 328). Kamulan berasal dari kata “mula” (samkrit), yang berarti; akar, umbi, dasar, permulaan, asal. Awalan ka-, dan akhiran –an menunjukkan tempat pemujaan asal atau sumber. Sanggah Kamulan adalah tempat pemujaan asal atau sumber, Hyang Kamulan  atau Hyang Kamimitan. Kamimitan berasal dari kawa Wit, (huruf m adalah sekeluarga huruf W). Kamimitan adalah lain ucapan dari kata kawiwitan, berasal dari kata wit, yang berarti asal atau sumber pula (Wikarman, 1998: 2). Dengan pengertian ini sebenarnya kita sudah dapat menarik atau menyimpulkan bahwa yang dipuja pada Sanggah Kamulan itu tidak lain yang merupakan sumber atau asal dari mana manusia itu ada.
            Lalu muncul suatu pertanyaan, siapakah yang dimaksud dengan Hyang Kamulan atau kawitan yang merupakan asal manusia itu? Inilah yang perlu kita telaah secara mendalam dalam uraian selanjutnya. Namun sebelumnya marilah kita ungkapkan dulu dasar hukum dari pendirian Sanggah Kamulan itu. Dalam lontar Sivagama kita jumpai suatu uraian tentang pendirian Hyang Kamulan. Kutipannya sebagai berikut;
                     “……bhagawan manohari, Sivapaksa sira, kinwa kinon de Sri Gondarapati, umaryanang sadhayangan, manista madya motama, mamarirta swadarmaning wong kabeh. Lyan swadadyaning wang saduluking wang kawan dasa kinon magawe pangtikrama. Wwang setengah bhaga rwang puluhing saduluk, sanggarpratiwi wangunen ika mwang kamulan panunggalanya sowing……”

Arti kutipan tersebut ;
                     “….. Bhagawan Manohari pengikut Siva, beliau disuruh oleh Sri Gondarapati, untuk membangun Sad Khayangan Kecil, sedang maupun besar. Yang merupakan beban kewajiban orang semua. Lain kewajiban sekelompok orang untuk empat pulih keluarga harus membangun panti. Adapun setengah bagian dari itu yakni 20 keluarga, harus membangun ibu. Kecilnya 10 keluarga pratiwi harus dibangun, dan kamulan satu-satunya tempat pemujaan (yang harus dibangun) pada masing-masing pekarangan…..”

            Dengan kutipan di atas jelaslah bagi kita, bahwa setiap keluarga yang menempati karang perumahan tersendiri wajib membangun Sanggah Kamulan. Jadi lontar Sivagama inilah yang merupakan dasar hukum bagi pendirian Sanggah Kamulan itu.
            Lontar Sivagama adalah merupakan Pustaka suci bagian Smrti dari Sekte Siva. Oleh karena itu ajaran Siva seperti yang tercantum pada lontar Sivagama itu wajib diikuti oleh pengikutnya.

2.2 Hyang Kamulan adalah Sanghyang Triatma
            Kamulan atau kawitan adalah merupakan sumber atau asal manusia itu sendiri. Lalu siapakah yang dimaksud sumber atau asal itu? Siapakah yang menyebabkan adanya manusia atau jatma itu? Manusia umumnya dalam bahasa Bali halus disebut “jatma” yang berasal dari akar kata Ja, yang artinya lahir, dan atma  berarti roh. Jadi jatma berarti roh yang lahir. Dengan ungkapan itu maka sesungguhnya manusia ada karena adanya atma yang lahir, dengan demikian atmalah yang menjadi sumber adanya manusia itu sesungguhnya.
            Hal ini akan sesuai benar dengan pernyataan lontar-lontar Gong Wesi, Usana Dewa, tattwa kepatian dan Purwa bhumi kamulan. Lontar-lontar tersebut menyebutkan bahwa yang bersthana pada Sanggah Kamulan adalah Sanghyang Triatma atau tiga aspek dari atma itu sendiri.
Dalam lontar Usana Dewa disebutkan :
“ring kamulan ngaran ida sang hyang atma, ring kamulan tengen bapa ngaran sang paratma, ring kamulan kiwa ibu ngaran sang sivatma,ring kamulan tengah ngaran raganya, tu brahma dadi meme bapa, meraga sang hyang tuduh….” (Rontal Usana Dewa, lembar 4)

Yang artinya :
”Pada sanggah Kamulan beliau bergelar Sang Hyang Atma, pada ruang kamulan kanan ayah, namanya Sang Hyang Paratma. Pada kamulan kiri ibu, disebut Sivatma. Pada kamulan ruang tengah diri-Nya, itu Brahma, menjadi purusa pradana, berwujud Sang Hyang Tuduh (Tuhan yang menakdirkan).”

            Demikian juga lontar Gong Wesi, kita jumpai kutipan yang hampir sama dengan yang tersurat pada Usana Dewa.
Kutipannya adalah sebagai berikut :
“….. ngaran ira sang atma ring kamulan tengen bapanta, nga, sang paratma, ring kamulan kiwa ibunta, nga, sang sivatma, ring kamulan madya raganta, atma dadi meme bapa ragane mantuk ring dalem dadi sanghyang tunggal, nungalang raga….” (Rontal Gong Wesi, lembar 4b).

Artinya :
“…… nama beliau sang atma, pada ruang kamulan kanan bapakmu, yaitu Sang Paratma, pada ruang kamulan kiri ibumu, yaitu Sang Sivatma, pada ruang kamulan tengah adalah menyatu menjadi Sanghyang Tunggal menyatukan wujud”

            Dari dua kutipan lontar di atas jelaslah bagi kita, bahwa yang bersthana pada sanggah kamulan itu adalah Sanghyang Triatma, yaitu; Paratma yang diidentikkan sebagai ayah (purusa), Sang Sivatma yang diidentikkan Ibu (predana) dan Sang Atma yang diidentikkan sebagai diri sendiri (roh individu). Yang hakekatnya Sanghyang Triatma itu tidak lain dari pada Brahma atau Hyang Tunggal/ Hyang Tuduh sebagai pencipta (upti).

2.3 Hyang Kamulan adalah Roh suci Leluhur
            dalam lontar Purwa Bhumi Kamulan disebutkan bahwa atma yang telah disucikan yang disebut Dewapitara, juga disthanakan di sanggah kamulan, seperti disebutkan :
“riwus mangkana daksina pangadegan Sang Dewa Pitara, tinuntun akena maring sanggah kamulan, yan lanang unggahakena ring tengen, yan wadon unggahakena maring kiwa, irika mapisan lawan dewa hyangnya nguni……” (Purwa Bhumi kamulan, lembar: #).
Yang artinya :
“Setelah demikian daksina perwujudan roh suci dituntun pada Sanghyang Kamulan, kalau bekas roh itu laki naikkan pada ruang kanan, kalau roh suci itu bekas perempuan dinaikkan di sebelah kiri, disana menyatu dengan leluhurnya terdahulu.”

Dalam rontal Tatwa Kapatian disebutkan bahwa sanghyang atma (roh) setelah mengalami proses upacara akan bersthana pada sanggah kamulan sesuai dengan kadar kesucian atma itu sendiri. Atma yang masih belum suci, yang hanya baru mendapat “tirtha pangentas pendem” atau upacara sementara (ngurug) juga dapat tempat pada Sanggah Kamulan sampai tingkat “batur kamulan”, seperti disebutkan :
“Mwah tingkahing wong mati mapendem, wenang mapangentas wau mapendem, phalanya polih lungguh Sang Atma munggwing batur kamulan” (Rontal Tattwa Kapatian, 1a. 1b).

Artinya :
“Dan prihalnya orang mati yang ditanam, harus memakai tirtha pangentas baru diurug, hasilnya mendapatkan tempat Sang Atma pada Batur Kamulan”

            Dari kutipan-kutipan di atas jelaslah bagi kita bahwa Hyang Kamulan yang dipuja pada Sanggah Kamulan adalah juga roh suci leluhur, roh suci Ibu dan Bapak ke atas yang merupakan leluhur lencang umat yang telah menyatu dengan Sang Penciptanya, yang dalam lontar Gong Wesi/ Usana Dewa sebagai Hyang Tuduh atau Brahma, yang merupakan asal muasal adanya manusia di dunia ini.

2.4 Hyang Tri Murti  Dewanya Sanghyang Tri Atma
            Kalau kita renungkan lebih mendalam, tentang Sanghyang Tri Atma seperti disebutkan pada Gong Wesi dan Usana Dewa, maka pengertian Hyang Kamulan sesungguhnya akan lebih tinggi lagi. Karena telah disebutkan bahwa Penyatuan Sanghyang Tri Atma adalah hyang Tuduh/Tunggal yang menjadi Brahma sebagai Sang Pencipta.
            Di samping itu, ketiga tingkatan Sanghyang Tri Atma itu juga ditinjau dari segi filsafat Siwa Tattwa, maka “atma” adalah yang menjadikan hidup pada mahkluk. Sivatma adalah sumber atma di alam nyata (sekala) ini. Sedangkan Paratma adalah sumber atma (roh) di alam niskala. Ia adalah atma tertinggi. Ia adalah Tuhan menurut sistim yoga. Ia adalah identik dengan Paramasiva dalam Siva Tattwa. Dalam sistim wedanta ia adalah Tuhan Nirguna Brahma.
            Dalam mantram “Sapta Omkaratma” disebutkan yang dimaksud dengan Tri Atma, adalah: Am, Atma dewanya Brahma, Antaraatma dewanya Wisnu, dengan wijaksaranya Um, dan Paramatma dewanya adalah Iswara dengan wijaksaranya Mang. Ketiga dewa tersebut dalam sekte Siwa Sidhanta umum disebut Tri Murti. Ketiga dewa tersebut adalah merupakan roh alam semesta. Sebagai roh (atma) alam semesta ia adalah juga bergelar Tri Purusa atau Trilingga.
            Sesungguhnya yang merupakan jiwa (atma) atau roh dari jagat kita ini termasuk mahkluk hidup utamanya manusia adalah beliau yang bergelar Tri Murti., Tri Purusa dengan wujud Trilingganya. Sebagai roh (atma) dengan sendirinya beliau itu adalah Ida Hyang Widhi, yang didalam penunggalan-Nya adalah Ida Hyang Widhi, yang di dalam lontar Usana Dewa dan Gong Wesi disebut Hyang Tuduh/ Tunggal atau Brahma sebagai pencipta alam dengan isinya termasuk manusia.
            Siwa adalah Tuhan dalam dimensi imanen (sakala), Sadasiwa adalah Tuhan dalam dimensi sakala-niskala (Ardenareswara), sedangkan Paramasiwa adalah Tuhan dalam dimensi niskala (transcendental).
            Siwa dalam ketiga wujud di atas, dalam lontar Siwagama digelari Batara Guru, karena beliau (Siwa) menjadi “Dang Guru ing Iswara” di jagat kita ini. Konon gelar Batara Guru dihaturkan oleh murid beliau terpandai yakni Dewa Surya, setelah Dewa Surya dianugerahi gelar Siwa Raditya oleh Siwa sendiri sebagai Dang Guru (Wikarman, 1998: 12).
            Oleh karena Siwa beraspek tiga, sebagai Tri purusa maka Guru pun ada tiga aspek pula, yakni Guru Purwam, Guru Madyam, Guru Rupam. Guru purwam, guru dalam dimensi niskala, Guru Madyam, guru dalam dimensi sakala-niskala, sedangkan Guru Rupam, adalah guru dalam dimensi sakala. Tri Guru, dalam mantram “ngaturang bakti ring kawitan” juga merupakan objek yang dipuja, seperti dinyatakan :
   “Om Guru Dewa Guru Rupam
   Guru Madyam Guru Purwam
   Guru Pantaram dewam
   Guru Dewa Sudha nityam”
           
            Artinya:
“Om Guru Dewa, yaitu Guru Rupam (sakala), Guru Madya (sakala-niskala) dan Guru Purwa (niskala) adalah guru para dewa. Dewa Guru Suci selalu”

            Jadi melihat uraian dan kutipan mantra di atas, jelaslah bagi kita bahwa yang dipuja pada Sanggah Kamulan pada hakekatnya adalah Tuhan/ Hyang Widhi, baik sebagai Hyang Tri Atma, yang sebagai roh (atma) alam semesta dengan isinya (jagat) yang dewanya adalah Brahma, Wisnu dan Iswara, yang merupakan aspek Tuhan dalam bentuk horizontal dan Siwa, Sada Siwa, Parama Siwa, aspek Tuhan dalam bentuk vertikal (Tri Purusa). Sebagai Tri Purusa beliau juga disebut Guru Tiga. Oleh karenanya umum juga menyebutkan bahwa Sanggah Kemulan “sthana” Bhatara Guru/Hyang Guru. 
           Dengan demikian pengertian Kamulan atau Kawitan sesungguhnya mengandung pengertian yang sangat tinggi, yang merupakan asal muasal manusia yang tidak lain dari Ida Sang Hyang Widhi sendiri dengan semua manifestasinya.

BAB III
FUNGSI SANGGAH KAMULAN

1.      Tempat Pemujaan Ida Hyang Widdhi
Dimuka sudah dijelaskan, bahwa pengertian Hyang Kamulan, adalah Sanghyang Tri Atma yang panunggalannya adalah Hyang Tuduh atau Hyang Tunggal. Sanghyang Tri Atma yakni : Atma, Sivatma dan Paratma adalah Tuhan, dalam manifestasinya sebagai Roh. Menurut sistim Yoga, Ia adalah identik dengan Tri Purusa (Siva, Sadasiva dan Paramasiva) menurut filsafat Siva Sidhanta dan sesuai pula dengan Brahma, Visnu, Isvara. Ia juga sesuai dengan fungsi Siva sebagai Guru. Oleh karenanya Hyang Kamulan adalah juga Bhatara Guru, yang berdimensi tiga pula, yaitu Guru Purwam (Paramasiva), Guru Madyam (Sadasiva) dan Guru Rupam (Siva). Jadi dengan demikian sesungguhnya yang dipuja pada Sanggah Kamulan adalah Ida Hyang Widhi dalam wujud sebagai Sanghyang Tri Atma, Sanghyang Tri Purusa (Bhatara Guru) dan Sanghyang Tri Murti.
2.      Tempat Memuja Leluhur
Dalam lontar Purwabhumi kamulan dinyatakan bahwa Sanggah Kamulan adalah tempat Ngunggahang Dewapitara,
“… iti kramaning anggunggahaken pitra ring kamulan …”
(Rontal Purwabhumi Kamulan, lembar 53).
Ngunggahang Dewapitara pada kamulan dimaksudkan adalah untuk “melinggihkan” atau mensthanakan” dewa pitara itu.
Yang dimaksud dengan dewa pitara adalah : roh leluhur yang telah suci, yang disucikan melalui proses upacara Pitra Yadnya, baik Sawa Wedana maupun Atma Wedana.
Ngunggahang Dewa Pitara pada Sanggah Kamulan adalah mengandung maksud mempersatukan dewa pitara (roh leluhur yang sudah suci) kepada sumbernya (Hyang Kamulan). Kalimat “irika mapisan lawan dewa Hyangnia nguni” mengandung pengertian bersatunya atma yang telah suci dengan sumbernya, yakni Sivatma (ibunta) dan Paratma (ayahta). Hal ini adalah merupakan realisasi dari tujuan akhir Agama Hindu yakni mencapai moksa (penyatuan Atma dengan paratma).
Pemikiran tersebut didasarkan atas aspek Jnana kanda dari ajaran Agama Hindu.
Dari segi susila (aspek etika) ngunggahang Dewa Pitara pada Sanggah Kamulan, adalah bermaksud mengabdikan/melinggihkan roh leluhur yang telah suci pada Sanggah Kamulan untuk selalu akan dipuja, mohon doa restu dan perlindungan.
Atma yang dapat diunggahkan pada Sanggah Kamulan adalah Atma yang telah disucikan melalui proses upacara Nyekah atau mamukur seperti dinyatakan dalam rontal :
“… iti kramaning ngunggahakan pitra ring kamulan, ring wusing anyekah kurung muah mamukur, ri tutug rwa wales, dinanya, sawulan pitung dinanya…”.



Artinya :
“… Ini perihalnya menaikkan dewa pitara pada Kamulan, setelah upacara nyekah atau mamukur, pada dua belas harinya, atau 42 harinya…”.

Jadi upacara ngalinggihang Dewapitara adalah merupakan kelanjutan dari upacara nyekah atau mamukur itu. Tetapi karena pitara sudah mencapai tingkatan dewa, sehingga disebut Dewapitara, maka upacara ini tidak tergolong pitra yadnya lagi, melainkan tergolong Dewayadnya. Dari uraian di atas itu, jelaslah bagi kita, bahwa Sanggah Kamulan disamping untuk memuja Hyang Widhi, juga tempat memuja roh suci leluhur yang telah menunggal dengan sumbernya (Hyang Kamulan, atau Hyang Widdhi).
3.      Fungsi Taksu
Pada areal Sanggah Kamulan, ada sebuah pelinggih yang penting lagi disebut “Taksu”. Kata taksu sudah merupakan bahasa baku dalam kosa kata Bali, yang dapat diartikan sebagai daya magis yang menjadikan keberhasilan dalam segala aspek kerja, misalnya para seniman, seperti pragina, balian, dalang dan lain-lain, yang berhasil disebut “mataksu”.
Dan dalam ajaran Tantrayana, taksu itu bisa diartikan sama dengan “sakti” atau “Wisesa”. Dan yang dimaksud dengan sakti itu adalah simbul dari pada “bala” atau kekuatan. Dalam sisi lain sakti juga disamakan dengan energi atau “kala”.
Dalam Tattwa, daya atau sakti itu tergolong “Maya Tattwa”. Energi dalam bahasa Sanskrit disebut “prana” adalah bentuk ciptaan yang pertama dari Brahman. Dengan mempergunakan “prana” barulah muncul ciptaan berikutnya (Panca mahabhuta). Dengan digerakkan oleh “prana” kemudian terciptalah alam semesta termasuk mahluk isinya secara evolusi. Tuhan Nirguna Brahma atau Paramasiva dalam sistem Siva Tattwa, memanfaatkan energi atau sakti itu, sehingga Ia menjadi Maha Kuasa, memiliki Cadu Sakti dengan asta Aisvaryanya. Dalam keadaan yang demikian itu, Ia adalah Maha Pencipta, Pemelihara, dan Pelebur, yang dalam Wrhaspati Tattwa disebut Sadasiva Tattwa dan di dalam Filsafat Vedanta Ia disebut “Saguna Brahma”.
Menyimak dari uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa kalau Purusa (Sanghyang Tri Purusa) dang Sanghyang Tri Atma kita puja melalui palinggih kamulan, maka Sakti atau Mayanya dipuja melalui “Taksu”. Dalam upacara “nyekah” disamping adanya “sekah” sebagai perwujudan Atma yang akan disucikan, juga kita mengenal adanya “Sangge”. Menurut penjelasan Ida Pedanda Putra Manuaba (almarhum). Sangge itu adalah simbul dari “Dewi Mayasih”. Siapakah Dewi Mayasih itu? Bukankah ia mewakili unsur “Maya Tattwa” (pradana atau sakti) itu? Yang juga bersama-sama Atma, dalam upacara Nyekah ikut disucikan. Dalam ajaran “kandapat” kita mengenal adanya saudara empat, yang mana setelah melalui proses penyucian saudara empat itu dikenal dengan sebutan: Ratu Wayan Yangkeb Langit, Ratu Ngurah Teba, Ratu Gede Jalawung, Ratu Nyoman Sakti Pangadangan. Ratu Nyoman Sakti Pangandangan itulah dianggap dewaning taksu (Wikarman, 1998 : 19).
Kemungkinan dalam upacara Ngunggahang Dewapitara, unsur maya (sakti)nya yang telah ikut disucikan juga disthnakan pada palinggih taksu. Disinilah unsur sakti dari atma individu “menyatu dengan unsur sakti” dari Hyang Tripurusa, dan Atma itu sendiri menyatu dengan Hyang Tripurusa, pada Kamulan itu. Sehingga dengan demikian utuhlah pemujaan pada Sanggah Kamulan, adalah pemujaan Tuhan Tripurusa, dengan sakti (maya)nya. 
Khusus palinggih Taksu, adalah berfungsi untuk memohon “kesidhian” atau keberhasilan untuk semua jenis profesi seperti seniman, pedagang, petani, pemimpin masyarakat dan sebagainya.

BAB IV
SEJARAH DAN JENISNYA

Sanggah Kamulan, menurut Tattwanya, jelas bersumber dari ajaran Hindu, aspek Jnana kanda dan etikanya. Aspek Jnana kanda adalah bersumber dari sistim Yoga, Wedanta, Samkhya, dan Siva Sidhanta. Hal ini sudah kita uraikan di muka, pada bab III.
Sedangkan latar belakang etiknya, adalah kewajiban (swadharman) dari keturunan atau “pretisentana” untuk selalu memuja leluhurnya. Konsep pemujaan leluhur yang dilakukan oleh umat Hindi di Indonesia khususnya Bali adalah bersumber dari ajaran agama Hindu. Pustaka suci agama Hindu banyak sekali menguraikan tata cara pemuhaan leluhur, yang lazim disebut “sraddha”.
Dalam buku Griha Sutra, disebutkan bahwa pada setiap rumah tangga Hindu, terdapat tempat pemujaan leluhur yang disebut “Wastospati”. Upacara pemujaannya disebut “pinda pitara yajna”.
Alam Dharmasastra, tatacara pemujaan leluhur dengan panjang lebar diuraikan pada bab III. Demikian juga pada buku-buku Purana cerita Itihasa, baik Ramayana maupun Mahabarata.
Dengan adanya data-data pasti tentang adanya konsep pemujaan leluhur dalam ajaran Agama Hindu, ini berarti pendapat para pakar kepurbakalaan tentang pemujaan leluhur dalam masyarakat Hindu di Bali, yang dikatakan bersumber dari konsep pemikiran pra Hindu dapat di kesampingkan.
Jadi dengan demikian adanya Sanggah Kamulan sebagai tempat leluhur, dalam rumah tangga di Bali, adalah setua masuknya Agama Hindu di Indonesia.
Sedangkan kata “Kamulan” itu sendiri, sebagai sebutan tempat suci, telah disebut-sebut dalam Prasasti Sri Kahulunan pada tahun 842 AD yang kutipan kalimatnya sebagai berikut :
Tatkala Sri Kahulunan manusuk warna I trupurussan watak kahulunan simaning kamulan bhumi sembara”.
(Wikarman, 1998 : 22)
Kamulan bhumi sambara dimaksudkan adalah candi Borobudur, yang menurut De Casparis merupakan pemujaan 14 tingkat leluhur dari raja Cailendra.

Nama Kamulan sebagai tempat suci juga kita dapati dalam prasasti Siman A-126 yang menyebutkan “Sanghyang Dharma Kamulan i paradah”. Demikian juga dalam prasasti Klungkung A-439 ada juga disebut Kamulan. Bangunan tempat suci yang bernama kamulan telah ada kurang lebih 1.000 tahun yang lalu. Di Bali sebagai pemujaan dalam setiap rumah tangga digariskan dalam lontar Sivagama. Diperkirakan lontar tersebut adalah merupakan ajaran Mpu Kuturan. Jadi dengan demikian dapat diperkirakan Mpu Kutuanlah yang mengajarkan agar setiap karang perumahan bagi umat Hindu di Bali, didirikan Sanggah Kamulan.
Jenis Sanggah Kamulan
Umat Hindu di Bali menurut dimensi dan kondisinya, membedakan Sanggah Kamulan menjadi beberapa jenis antara lain :
a.       Turus Lumbung, adalah Sanggah Kamulan darurat, karena satu dan lain hal belum mampu membuat yang permanent. Bahannya dari turus kayu dapdap (kayu sakti). Fungsinya hanyalah untuk ngelumbung atau ngayeng Hyang Kamulan atau Hyang Kawitan. Satu tahun setelah membuka karang baru diharapkan sudah membangun Kamulan yang permanen.
b.      Sanggah Penegtegan, adalah kamulan yang berfungsi hanya sebagai tempat negtegang (membuat ketentraman) dengan memuja Hyang Kawitan bagi mereka yang baru berumah tangga. kamulan sejenis ini banyak kita jumpai di daerah Kabupaten Bangli bagian atas. Setiap mereka yang baru kawin diwajibkan membangun sebuah Sanggah rong tiga, sehingga dalam satu pekarangan akan berdiri beberapa yang telah berumah tangga.
c.       Kamulan jajar.
Sesuai dengan namanya, kamulan ini memiliki dua saka (tiang) yang berjajar dimuka yang menancap langsung pada bebaturan (palih batur).
Disamping itu, Kamulan jenis ini, disamping mempunyai ruang tiga yang berjajar, juga terdiri dari tiga bagian, yaitu : bebaturan, ruang lepitan, dan ruang gedong sampai atapnya. Ruang lepitan letaknya dibawah rong tiga yang berjajar itu. Jadi kalau disimpulkan Kamulan jajar ini terdiri dari jajar horisontal dan jajar vertikal, sebagai simbolis dari Hyang Murti dan Tri Purusa.
Apa fungsi ruang lepitan itu? Belum diketemukan sumber pasti. Namun kita lihat fungsi Kamulan sebagai Palinggih Atma dapat dijelaskan sebagai berikut :

Batur Kamulan Sthana Atma yang masih kotor, yang baru mendapat pengentas pendem (lontar Tattwa Kapatian) Rong tiga, terutama kiri dan kanan adalah tempat Atma suci yang telah dilinggihkan. Kemungkinan ruang lepitan adalah tempat yang dapat dicapai oleh Atma yang sudah diaben. Jadi dengan demikian dapatlah dikatakan, Sanggah Kamulan terdiri dari tiga bagian kosmos, yakni bebaturan sebagai Bhur Loka atau pitra loka alamnya para Pitara, yaitu Atma yang sudah diaben, sedangkan Rong tiga sebagai Swah Loka alamnya para Dewa, yang dapat dicapai oleh atma yang mencapai alam kedewaan setelah melalui proses upacara memukur.
Demikianlah jenis-jenis Kamulan yang kita jumpai dalam masyarakat Hindu di Bali.
Bahan/Kayu yang dipakai untuk Sanggah Kamulan
Dalam lontar Astakosala-kosali diuraikan kayu yang baik untuk bahan bangunan adalah :
1.      Cendana tergolong kayu prabhu (Utama)
2.      Menengen tergolong katu patih (madya)
3.      Cempaka tergolong kayu arya (utama)
4.      Majagau tergolong kayu demung (madya)
5.   Suren tergolong kayu demung (nista)

 
BAB V
NILAI DAN MAKNA KEBERADAAN
SANGGAH KAMULAN

1. Nilai-Nilai
Menurut Koentjaraningrat sesuatu hal yang berisikan ide-ide yang mengonsepsikan hal-hal penting, yang berharga dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu nilai juga dapat dikatakan sebagai suatu yang esensial di dalam suatu karya, tinggi rendahnya suatu karya ditentukan oleh nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Beranjak dari pengertian tersebut, adapun beberapa nilai yang didapat dari keberadaan Sanggah Kamulan , yaitu ;
  • Nilai Agama
Nilai ini adalah nilai yang dominant terkandung dalam keberadaan Sanggah Kamulan, sebagai salah satu tempat pemujaan Tuhan/ Hyang Widhi dan Kawitan. Keberadaan Sanggah Kamulan seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya, adalah karena adanya kepercayaan umat Hindu sebagai tempat pemujaan Hyang Widhi akibat kepercayaan dari adanya Brahma, Sang Hyang Triatma atau Siwa. Apalagi sebagai penganut Sekta Siwa.
  • Nilai Adat
            Masalah adat sangat erat sebenarnya dengan agama, karena adanya adat agama menjadi kuat, dan agama sebagai dasar pandang adat. Kedua hal tersebut berjalan seiringan dalam masyarakat Bali. Adanya upacara-upacara adat di bali seperti upacara pengabenan, pernikahan dan upacara-upacara yadnya lain dalam pelaksanaannya pasti berhubungan dengan Sanggah Kemulan, seperti nunas Tirtha (air suci). Selain itu misalnya dalam upacara pernikahan. Ketika Sang istri dinikahi (dipamitkan/dipejatikan) pasti melakukan sembah dinatar Hyang Guru/ Kemulan. Dari gambaran tersebut terlihat jelas betapa ada nilai adat yang berjalan dalam prosesi upacara tersebut dan berhubungan dengan Sanggah kemulan.
  • Nilai Etika
Membahas nilai etika yang berhubungan dengan Sangah Kemulan ini, sangat berkaitan dengan kesucian dari sanggah Kemulan itu sendiri. Sudah tentu orang-orang yang cuntaka dilarang masuk kea real sanggah atau tempat suci lainnya, agar tidak mengurangi kesucian tempat tersebut. Selain itu ada juga etika-etika lain yang harus dipatuhi, misalnya saat seseorang melakukan upacara tertentu ketika mohon air suci (nunas tirtha) harus menghaturkan banten sesuai dengan tingkatan upacaranya. Biasanya dengan menghaturkan daksina, ajuman, rayunan dan segehan dalam tingkat madya, yang tergantung dari Desa Kala Patra daerah masing-masing. Dari segi nilai etika yang lain seperti saat ngunggahang pitara pada Sanggah Kamulan, adalah bermaksud mengabadikan/ melinggihkan roh leluhur yang telah suci pada Sanggah Kamulan untuk selalu akan dipuja, mohon doa restu dan perlindungan.
  • Nilai Ekonomi
Merupakan modal utama atau sumber Taksu. Taksu adalah berfungsi untuk semua jenis propesi seperti; seniman, pedagang, petani, pemimpin masyarakat dan sebagainya. Dari penjelasan di atas maka nilai ekonomi yang dapat dipetik adalah dalam melakukan pekerjaan untuk mencari penghidupan, maka taksu pada diri kita harus ada, dan untuk mendapatkan atau menghidupkan taksu itu, kita dapat nunas (memohon) di Sanggah Kamulan.
  • Nilai pendidikan
Sanggah Kamulan seperti yang dijelaskan, merupakan sthana Batara Guru/ Hyang Guru dan dalam pejelasan pada bab sebelumnya sudah dijelaskan dimana Siwa Turun ke dunia dengan wujud Sarasuati yaitu Dewi Ilmu pengetahuan yang juga bersthana sebagai Hyang Guru di Sanggah Kamulan. Jadi dengan memohon kaweruhan (kepintaran) baik dalam bentuk apapun banyak dilakukan orang di Sanggah Kamulan.
 
2. Makna
      Kata kunci dalam pengertian makna adalah arti atau maksud yang terkandung. Dalam menganalisis makna Sanggah kamulan kita kembali melihat pengertian Snggah Kamulan itu sendiri, yaitu tempat pemujaan asal atau sumber yang diartikan sebagai tempat pemujaan Hyang Kamulan atau Hyang Kamimitan. Dari setiap keluarga yang telah memiliki pekarangan sendiri seperti disebutkan dalam lontar Siwagama, harus membangun/ membuat sebuah tempat pemujaan Hyang Guru yang disebut Sanggah Kamulan yang letaknya di hulu atau udik pakarangan. Dengan makna sebagai pelindung dan pemberi anugrah keluarga tersebut agar tidak mendapatkan halangan apapun.


KESIMPULAN
Dengan uraian yang begitu mendalam, serta tinjauan dari berbagai sistim filsafat Hindu, maka dapatlah disimpulkan bahwa Sanggah Kamulan adalah :
  1. Sebagai penghulun karang, menempati posisi hulun dari konsepsi Rwabinedadan uttama mandala dari konsepsi Tri Hita Karana.
  2. Sthana Ida Sang Hyang Widi Wasa dalam wujudnya sebagai Sang Hyang Tri Atma (Atma, Sivatma dan Paratma) sebagai asal muasal adanya mahkluk kehidupan khususnya manusia di bumi ini.
  3. Sthana Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Sang Hyang Tri Murti (Brahma, Wisnu, Iswara) sebagai Jiwatman (roh) Bhuana Agung (alam semesta) dan Hyang Tri Purusa, yakni Siwa, Sadasiwa dan Paramasiwa yang dianggap sebagai Bhatara.
  4. Berfungsi sebagai tempat mensthanakan roh suci leluhur (dewa pitara) yang dianggap manunggal dengan sumbernya, untuk selalu dipuja oleh keturunannya, guna memohon perlindungan, bimbingan dan waranugrahanya.
  5. Konsep pemujaan leluhur bagi umat Hindu di Bali bukan bersumber dari Pra Hindu, melainkan bersumber dan merupakan bagian dari ajaran Hindu.
  6. Mendirikan Sanggah Kemulan berdasarkan petunjuk “Astakosala” dan “Astabhumi”, khususnya dalam pendiriannya. 


DAFTAR PUSTAKA
Bagus, I Gusti Ngurah. 1988. “Eksistensi Tata Nilai Sastra Tradisional Dalam Persepsi masyarakat Bali”. Denpasar: fakultas Sastra Universitas Udayana.
Dananjaya, James. 1984. Folklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng dan Lain-Lain. Jakarta: PT. Temprint.
Hadriyani, Tjok Istri Putra. 1992. “Pengaruh Mite Sang Hyang Gili Putri Pda Masyarakat Bali”. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Jendra, I Wayan. 1981. Suatu Pengantar Ringkas Dasar-Dasar Penyusunan Rancangan Penelitian. Denpasar : Fakultas Sastra Unud.
Koentjaraningrat, 1974. Kebudayaan dan Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Meganada, I Wayan, dkk. 1982. Arsitektur Tradisional Daerah Bali”. Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Wikarman, I Nyoman Singgih. 1988. Sanggah kemulan. Surabaya: Paramita.